Postagens populares

Sidebar menu

RSS
Container Icon

Pages

Sofware Bajakan, Makan dengan Sendok dan Sumpit

From:
mzrwan
mzrwan@yahoo.com

Message:
Assalamu'alaikum , Ustadz bagaiman hukumnya di agama Islam makan menggunakan sendok atau sumpit ? Tolong jelaskan. Jazakallahu khairon.

Jawaban:
Wa’alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh.
Tentang hukum makan dengan sendok, para ulama ahlu sunnah di zaman ini memiliki beberapa pandangan.
Syaikh Hamud al Tuwaijiri dalam kitabnya al Idhah wa al Tabyin hal 184 mengatakan, “Termasuk tasyabbuh (menyerupai) dengan para musuh Allah (baca:orang-orang kafir) adalah merasa jijik jika makan dengan tangan dan membiasakan diri makan dengan sendok atau semisalnya padahal tangan tidak bermasalah”.
Syaikh Al Albani memiliki pandangan yang berbeda. Dalam Silsilah Dhaifah 3/201 beliau mengatakan, “Anehnya ada orang yang merasa tidak nyaman jika makan dengan sendok karena dia beranggapan bahwa makan dengan sendok itu menyelisihi sunnah. Pada makan dengan sendok adalah masalah non ibadah, bukan perkara ibadah. Makan dengan sendok itu semisal dengan naik mobil, pesawat terbang ataupun sarana transportasi modern yang lain. Orang yang menolak untuk makan dengan sendok lalu beralih dengan makan dengan tangan kemudian beralasan karena lupa atau pura-pura lupa, adalah menyelisih tuntunan Nabi”.
Beliau -dalam kaset Silsilah al Huda wa al Nur no 807-juga mengatakan, “Anda semua tentu tahu bahwa dalam hadits yang sahih Nabi makan dengan menggunakan tangan kanan dan makan dengan menggunakan tiga jari. Saat ini kedua sunnah Nabi ini tidak lagi dilakukan. Tidak ada satupun yang mempraktekkan sunnah Nabi ini dan menjadikan Nabi sebagai teladan. Tidak ada satupun yang makan dengan tiga jari. Sekarang supaya kita berpikir realistis, terkadang makanan itu berbentuk cairan sehingga ada orang yang bertanya-tanya. Bagaimana cara kaum muslimin terdahulu memakan makanan yang berbentuk cairan? Jika dengan menggunakan tiga jari maka hampir-hampir tidak ada makanan yang terambil.Wallahu a’lam, dulu kaum muslimin menggunakan semacam mangkuk kecil lalu makanan yang cair tersebut mereka minum langsung dengan mulut mereka.
Saat ini makanan semisal nasi tidaklah dimakan dengan menggunakan tiga jari. Nampaknya jika ada orang yang ingin makan nasi dengan hanya menggunakan tiga jari maka dia tidak akan mampu menerapkan sabda Nabi,
حَسْبُ الآدَمِىِّ لُقَيْمَاتٌ يُقِمْنَ صُلْبَهُ
“Cukuplah bagi anak Adam beberapa suapan yang bisa menegakkan tulang punggungnya” (HR Ibnu Majah no 3349, dinilai sahih oleh Al Albani).
Berdasarkan hadits ini maka kita makan dengan mengambil beberapa suapan saja lalu berhenti. Namun tidak semua orang cukup dengan beberapa suapan. Hadits di atas maknanya adalah motivasi bukan mengharamkan makan lebih dari beberapa suapan. Kita boleh makan sampai kenyang akan tetapi tidak boleh lebih dari pada itu.
Saat ini saya berkeyakinan bahwa makan dengan menggunakan lebih dari tiga jari disamping menyelisihi sunnah Nabi juga menyebabkan pelakunya terjerumus ke dalam berbagai larangan tanpa disadarinya. Oleh karena itu dalam kondisi semisal ini, saya berpandangan hendaknya seorang itu makan dengan menggunakan sendok. Dengan pertimbangan pokok, menggunakan sendok itu membantu seseorang untuk tidak menyelisihi sunnah.
Ketika aku sampaikan hal ini, bukan berarti aku mengatakan bahwa orang yang makan dengan menggunakan sendok itu telah melakukan suatu yang ideal berdasarkan sunnah Nabi karena dia tidak makan dengan menggunakan tiga jari. Akan tetapi orang yang makan dengan menggunakan sendok itu tidak menyelisihi sunnah dengan makan menggunakan genggaman.
Dalam hal ini, sendok hanyalah menggantikan peran tiga jari sebagaimana di zaman ini kendaraan mesin yaitu mobil menggantikan peran binatang tunggangan semisal onta, kuda atau yang lainnya.
Orang yang makan dengan menggunakan genggaman tangan adalah orang yang menyelisihi sunnah makan dengan tiga jari. Orang yang demikian itu enggan untuk makan dengan menggunakan sendok karena anggapan bahwa makan dengan sendok itu menyelisihi sunnah. Orang yang semisal ini menurut hemat saya serupa dengan orang yang memaksakan diri untuk berhaji dengan naik keledai, unta ataupun kuda. Orang tersebut tidak mau menikmati anugrah (baca:kendaraan modern) yang telah Allah berikan kepada kita di zaman ini. Adanya kendaraan modern di zaman ini sebenarnya telah Allah isyaratkan dalam al Qur’an tepatnya dalam firman-Nya,
وَيَخْلُقُ مَالَا تَعْلَمُوْنَ
“Dan Allah menciptakan kendaraan yang kamu tidak mengetahuinya” (QS An Nahl:8).
Maka orang yang menaiki hewan tunggangan misalnya dari sini (baca:Yordania) sampai Mekkah dalam rangka berhaji adalah tergolong orang yang memaksakan diri jika dia adalah orang yang memungkinkan untuk menaiki mobil ataupun pesawat terbang”.
Berdasarkan uraian di atas, jelaslah bahwa sikap kedua adalah sikap yang tepat dalam hal ini.
Terkait dengan penggunaan sumpit, mengingat bahwa ini adalah masalah non ibadah yang pada asalnya halal maka pada asalnya makan dengan sumpit itu hukumnya halal kecuali jika di suatu daerah makan dengan sumpit itu menjadi ciri khas orang kafir. Artinya jika kita melihat ada orang yang makan dengan sumpit maka kita akan mengira bahwa dia adalah orang kafir. Jika demikian keadaannya maka makan sumpit dalam kondisi seperti ini terlarang, bukan karena benda sumpit itu sendiri namun karena faktor tambahan yaitu menyerupai ciri khas orang kafir.

From:
sugeng
sugeng_apt08@yahoo.com

Message:
Bismillah..
Ustad Aris yang kami hormati,
Sekarang ini sedang marak trend penambahan nama suami di nama istri. Misal Suami bernama Ali, Istri bernama Fatimah (kemudian) penambahan nama istri menjadi Fatimah Ali dan dipanggil sebagai Ibu Ali. Apakah hal tsb dibenarkan Syari'at? Mohon penjelasannya, Ustad. Jazakallohu Khoiron

Jawaban:
Jawaban pertanyaan di atas terdapat dalam fatwa Lajnah Daimah (Komisi Fatwa Majelis Ulama Saudi) no 18147 pada jawaban pertanyaan ketiga. Lajnah Daimah mendapatkan pertanyaan sebagai berikut, “Tersebar di sebagian negeri sebuah kebiasaan yaitu jika seorang wanita telah menikah maka dia menasabkan diri kepada nama atau gelar suaminya. Misalnya ada seorang wanita bernama Zainab menikah dengan seorang laki-laki bernama Zaid. Apakah boleh menuliskan nama wanita tersebut setelah menikah dengan Zainab Zaid? Ataukah kebiasan ini termasuk budaya Barat yang wajib dijauhi dan diwaspadai.
Jawaban Lajnah Daimah, “Tidak boleh menisbatkan seseorang kepada selain ayahnya. Allah berfirman,
ادْعُوهُمْ لِآبَائِهِمْ هُوَ أَقْسَطُ عِنْدَ اللَّهِ
“Panggillah mereka (baca:nasabkanlah) mereka kepada ayah mereka. Itu lebih adil di sisi Allah.” (QS Al Azab:5)
Terdapat ancaman keras yang ditujukan kepada orang yang menasabkan diri kepada selain ayahnya sendiri. Berdasarkan pertimbangan di atas maka tidak boleh menasabkan seorang wanita kepada suaminya sebagaimana tradisi orang-orang kafir atau tradisi kaum muslimin yang sukan tiru-tiru orang kafir”.
Fatwa ini ditandatangani oleh
Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz selaku ketua Lajnah Daimah, Abdul Aziz Alu Syaikh selaku wakil ketua dan Abdullah bin Ghadayan, Shalih al Fauzan dan Bakr Abu Zaid selaku anggota.


From:
Wahyu Hidayat
wahyuhidayatxakuntansi@yahoo.co.id

Message:
Assalamu'alaikum Wr. Wb

Apa hukumnya menggunakan software bajakan?
Jawaban:
Wa’alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh.
Dalam masalah ini, para ulama kontemporer terbagi menjadi tiga pendapat:
Pertama: Mengharamkan secara mutlak baik mengcopy maupun menggunakan software (piranti lunak) yang tidak asli, jika hal tersebut dilarang oleh yang membuatnya. Baik itu muslim maupun kafir non harbi. Inilah fatwa mayoritas ulama kontemporer.
Kedua: boleh mengcopy dan menggunakan software yang tidak asli untuk kepentingan pribadi, bukan untuk diperjualbelikan, jika memang ia membutuhkannya, dan menurut dugaan kuatnya software aslinya telah terjual banyak dan pembuat softwarenya telah meraup keuntungan yang cukup dan dapat menutupi biaya pembuatan software tersebut.
Ketiga: membolehkan secara mutlak, terutama bila berkaitan dengan ilmu-ilmu penting, sebab dengan tidak boleh mengcopy dan menggunakan kecuali software yang asli, berarti menyembunyikan dan membatasi manfaat dari ilmu tersebut.
Tentu pendapat yang paling hati-hati ialah pendapat pertama, namun jika memang antum (anda) terdesak dan sangat membutuhkan program tersebut, cobalah cari program lain yang bisa menggantikan. Dan bila tetap tidak ada atau harganya tidak terjangkau, maka Syaikh Abdul Aziz Alu Syaikh, mufti Saudi saat ini, membolehkan penggunaannya secara terbatas, alias bukan untuk diperjual belikan. Wallaahu a’lam bisshawaab.
Sumber:
http://basweidan.wordpress.com/soal-jawab/ dengan beberapa perubahan seperlunya.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar

Penulis Majalah Al 'Ibar

1. Ust. Agus Andriyanto, Lc

2. Ust Rohmanto, Lc

3. Ust. Amri Suaji, Lc

4. Ust. Abdus Salam, Lc

5. Ust. Aris Munandar, S.S.

6. Ust. Ulin Nuha, S.Pd.I

7. Ust. Jarot Nugroho, S.Pd.I

8. Ust. Budi Setiawan, S.K.M.

9. Ustadzah Umi Hajar, Lc

Alamat Kantor Redaksi,Periklanan dan Pemasaran

Pondok Pesantren Hamalatul Quran

Kembaran RT 4, Tamantirto, Kasihan, Bantul, Yogyakarta 

Telp/Fax: 0274 372 602 

email: pesantrenhamalatulquran@gmail.com

Diberdayakan oleh Blogger.

Tags

BTricks

BThemes