Postagens populares

Sidebar menu

RSS
Container Icon

Pages

THAHARAH (BERSUCI)

Sesungguhnya Islam adalah agama yang suci dan bersih. Tidak ada satupun agama yang mengatur tentang bersuci sebagaimana agama Islam.
Allah Subhanahu wata’ala berfirman:

إِنَّ اللهَ يُحِبُّ التَّوَّابِيْنَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِيْنَ

“Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang bertaubat dan mencintai orang-orang yang mensucikan diri/ berthaharah.” (Al-Baqarah: 251)
Di dalam kitab-kitab fiqih para ulama menempatkan pembahasan Bab Thaharah dalam bab pertama, sebelum pembahasan yang lainnya. Maka dalam rubrik ini, kami juga akan mengawali pembahasan tentang masalah Thaharah.
Makna Thaharah
Thaharah menurut arti bahasa adalah pembersihan dari segala kotoran, baik yang tampak maupun yang tidak tampak. Adapun arti Thaharah secara syariat adalah meniadakan atau membersihkan hadats dengan air atau debu yang bisa dipakai untuk menyucikan. Selain itu bermakna juga, usaha untuk menghilangkan najis dan kotoran. Disini bisa diambil pengertian akhir bahwa Thaharah adalah melenyapkan sesuatu yang ada di tubuh yang menjadi hambatan bagi pelaksanaan shalat dan ibadah lainnya.
Pembagian Thaharah
Thaharah terbagi menjadi dua macam yaitu: Thaharah Batin dan Thaharah Lahir.
Thaharah batin, yaitu Thaharah dari berbagai macam kemusyrikan dan kemaksiatan. Hal ini bisa dilakukan dengan menguatkan tauhid dan beramal shalih. Thaharah semacam ini lebih penting daripada Thaharah fisik. Sebab tidak mungkin Thaharah fisik ini akan bisa terwujud manakala masih adanya najis kemusyrikan. Allah berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّمَا الْمُشْرِكُونَ نَجَسٌ
“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya orang-orang yang musyrik itu najis.” (QS. At-Taubah: 28)
Sedangkan Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ الْمُؤْمِنَ لاَ يَنْجُسُ
“Sesungguhnya orang-orang mukmin itu tidak najis.” (HR. Bukhari Muslim).
Maka dari itu, sudah menjadi kewajiban bagi seorang muslim untuk membersihkan hatinya dari najis kemusyrikan dan keragu-raguan. Yaitu dengan cara ikhlas, bertauhid dan berkeyakinan serta bertekad untuk bisa membersihkan diri dan hatinya dari kotoran-kotoran kemaksiatan, pengaruh-pengaruh iri, dengki, suap, tipu daya, sombong, ujub, riya’ dan sum’ah. Semua ini bisa dilakukan dengan cara taubat yang sebenar-benarnya dari semua dosa dan maksiat. Dan thaharah ini merupakan sebagian dari iman. Adapun sebagian yang lainnya adalah thaharah fisik atau lahir.
Thaharah fisik, yaitu bersuci dari kotoran-kotoran dan najis-najis, dan thaharah ini adalah separuh keimanan yang kedua. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Bersuci itu separuh dari keimanan.”
Thaharah macam kedua ini dilakukan menurut tata cara yang telah disyariatkan oleh Allah yaitu dengan cara berwudu, mandi atau tayamum (ketika sedang tidak ada air), serta membersihkan najis dari pakaian, badan, dan tempat shalat.
Thaharah ini bisa dilakukan dengan dua hal:
Pertama: Thaharah dengan cara menggunakan air, dan inilah cara Thaharah yang paling pokok. Oleh sebab itu, setiap air yang turun dari langit atau keluar dari perut bumi adalah air yang menempati asal penciptaannya. Maka hukum air tersebut adalah suci dan menyucikan dari segala hadats dan kotoran meskipun sudah mengalami perubahan rasa atau warna atau baunya oleh sebab sesuatu yang bersih. Sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam:
“Sesungguhnya air itu dapat menyucikan. Yang tidak bisa dibuat najis oleh sesuatupun.” (HR. Abu Dawud).
Di antara macam-macam air tersebut adalah air hujan, mata air, air sumur, air sungai, air lembah, air salju yang mencair, dan air laut. Sehubungan dengan air laut, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Air laut itu bisa menyucikan dan bangkainya pun halal.” (H.R. Abu Dawud)
Adapun berkenaan dengan air zam zam telah ditetapkan oleh suatu hadits dari Ali Radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam pernah meminta dibawakan satu timba dari air zam zam, lalu air tersebut beliau pakai untuk minum dan untuk berwudu. (H.R. Imam Ahmad)
Akan tetapi apabila air itu telah berubah warna, rasa, atau baunya yang disebabkan oleh benda najis, menurut ijma’ (kesepakatan) para ulama, air itu pun najis yang harus dihindari yang artinya tidak boleh lagi digunakan untuk bersuci.
Kedua: Thaharah dengan memakai debu yang suci. Thaharah ini merupakan ganti dari thaharah dengan air oleh sebab tidak memungkinkan bersuci dengan menggunakan air pada bagian-bagian yang harus disucikan atau karena tidak adanya air, atau karena takut bahaya yang ditimbulkan jika menggunakan air sehingga bisa digantikan dengan debu yang suci.
Allah subhanahu wata’ala berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَقْرَبُوا الصَّلاةَ وَأَنْتُمْ سُكَارَى حَتَّى تَعْلَمُوا مَا تَقُولُونَ وَلا جُنُبًا إِلا عَابِرِي سَبِيلٍ حَتَّى تَغْتَسِلُوا وَإِنْ كُنْتُمْ مَرْضَى أَوْ عَلَى سَفَرٍ أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ أَوْ لامَسْتُمُ النِّسَاءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُمْ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَفُوًّا غَفُورًا
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu salat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan, (jangan pula hampiri mesjid) sedang kamu dalam keadaan junub, terkecuali sekedar berlalu saja, hingga kamu mandi. Dan jika kamu sakit atau sedang dalam musafir atau kembali dari tempat buang air atau kamu telah menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak mendapat air, maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci); sapulah mukamu dan tanganmu. Sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun.” (QS. An-Nisa:43)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,“Bumi (mana saja) dijadikan sebagai masjid, dan suci bagiku.” (Diriwayatkan oleh Ahmad dan asal hadits ini dari Shahih Al Bukhari dan Muslim).
Semoga Allah memberikan bimbingan kepada kita menuju kepada kesucian diri dan jiwa kita. Allahumma taqabbal.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar

Penulis Majalah Al 'Ibar

1. Ust. Agus Andriyanto, Lc

2. Ust Rohmanto, Lc

3. Ust. Amri Suaji, Lc

4. Ust. Abdus Salam, Lc

5. Ust. Aris Munandar, S.S.

6. Ust. Ulin Nuha, S.Pd.I

7. Ust. Jarot Nugroho, S.Pd.I

8. Ust. Budi Setiawan, S.K.M.

9. Ustadzah Umi Hajar, Lc

Alamat Kantor Redaksi,Periklanan dan Pemasaran

Pondok Pesantren Hamalatul Quran

Kembaran RT 4, Tamantirto, Kasihan, Bantul, Yogyakarta 

Telp/Fax: 0274 372 602 

email: pesantrenhamalatulquran@gmail.com

Diberdayakan oleh Blogger.

Tags

BTricks

BThemes