Postagens populares

Sidebar menu

RSS
Container Icon

Pages

Islam di Dinasti Praboe Siliwangi

Proses Islamisasi di Jawa Barat terjadi secara damai, tetapi diubah dan dituliskan menjadi dongeng yang sangat berkebalikan. Diceritakan dalam khalayak luas bahwa proses Islamisasi berdampak putra-putri Praboe Siliwangi yang memeluk agama islam, mendapat perlakuan yang tidak simpati dari keluarga istana yang masih beragama Hindu. Diusir dari istana, keluar menjauh dan bersembunyi di hutan. Tergambarkan keluarga istana tidak mengenal toleransi. Padahal dalam realitas sejarah sebenarnya tidak demikian. Justru pada masa Islam, daerah pengaruh Praboe Siliwangi meluas di bagian timur Jawa Barat.
Alkisah dituturkan dalam kitab Carika Purwaka Caruban Nagari, oleh Pangeran Arya Cirebon 1720M, pernikahan merupakan sebab awal masuknya Islam dikalangan istana Pakoean Padjadjaran. Dimulai pada masa Raden Manah Rarasa atau Pamanah Rasa, lebih dikenal sebagai Praboe Siliwangi dengan gelar Praboe Dewata Wisesa.
Pernikahan Praboe Siliwangi dengan Njai Saebang Larang , sebagai santri dari Sjech Hasanoeddin atau dikenal pula sebagai Sjech Qoera . Melalui pernikahan inilah menjadi sebab terjadinya Islamisasi Praboe Siliwangi dan dinastinya. Pernikahan tersebut dilaksanakan secara Islami. Dari hasil pernikahan antara Praboe Siliwangi dan Njai Soebang Larang melahirkan tiga orang anak:
1. putra, Walang Soengsang lahir 1423 M
2. putri, Njai Rara Santang lahir 1426M
3. putra, Radja Sangara lahir 1427M
Ketiga anak Praboe Siliwangi merupakan perintis awal dari Dinasti Prabu sisliwangi yang menjadi penganut agama Islam. Tidak hanya sebatas penganut Islam, Njai Rara Santang yang menikah dengan Maolana Soeltan Mahmoed atau Sjarif Abdoellah melahirkan Sjarif Hidajatoellah atau Soenan Goenoeng Djati, salah satu dari Wali Sanga.Pernikahan ini terjadi saat Njai Rara Santang selesai menunaikan ibadah haji dengan kakaknya, Walang Soengsang. Setelah menunaikan ibadah haji, Walang Soengsang (belalang yang berposisi sungsang) diganti dengan nama islami: Hadji Abdoellah Iman. Sedangkan Njai Rara Santang dikenal dengan nama baru, Saripah Moedaim.
Sejarah mencatat, setiap terjadi perubahan agama dan budaya dapat dilihat pula dari perubahan nama. Dari nama-nama dapat dibaca budaya agama apa atau bangsa mana yang terkuat pada jaman pemakai nama tersebut. Pada masa pra-Islam terdapat kecenderungan menyukai nama-nama yang diambil dari pengaruh ajaran Totemisme dengan nama-nama fauna atau hewan: Moendingsari, Mahesa Wong Ateleng, Hajam Woeroek, Gadjah Mada, Tjioeng Wanara, Walang Soengsang, dsb.
Perkembangan wilayah dan pusat pemerintahan dari Dinasti Praboe Siliwangi ke arah timur, terjadi pada masa Walang Soengsang. Setelah berguru selama tiga tahun dengan guru Sjech Datoek Kahfi , diwisuda dengan ditandai penganugerahan nama baru Ki Samadoellah.
Karena pengaruh dari kakeknya, Ki Gedeng Tapa, ayah Njai Soebang Larang, sebagai Sjah Bandar Moeara Djati Tjiirebon, dan sebagai Radja Singapoera , menjadikan Ki Samadoellah membuka wilayah baru di kebon Pasisir sebelah selatan Goenoeng Amparan Djati. Disinilah Ki Samadoellah menikah dengan Njai Kentjana Larang, putri Ki Danoesela atau Ki Gedeng Alang-alang.
Pernikahan ini membawa perubahan besar, wilayah Kebon Pasisir berubah namanya dari Lemah Wungkuk menjadi Caruban Larang. Nama Walang Soengsang atau Ki Samadoellah atau Haji Abdoellah Iman juga disebut sebagai Ki Tjakra Boemi atau Pangeran Tjakraboeana .
Langkah yang diambil oleh Ki Tjakra Boemi atau Pangeran Tjakraboeana merintis wilayah baru, Cirebon larang, mendapat penghormatan dari Prabu Siliwangi dari Pakoean Padjadjaran. Ditandai dengan pemberian gelar pangeran Tjakraboeana dengan Sri Mangana, selain itu diserahkan pula panji-panji kerajaan yang diantar oleh Radja Sangara. Pertemuan ini menjadikan Radja Sangara masuk Islam dan naik haji. Kemudian dikenal dengan nama Hadji Mansoer.
Peristiwa sejarah keluarga Praboe Siliwangi masuk Islam merupakan sebuah contoh toleransi raja dan bangsawan Hindu atau Budha dalam menyikapi konversi ke spesifikasi Islam. Selain itu juga, peranan ulama dan pesantren sebagai katalisator Islamisasi di nusantara Indonesia tidak pernah terjadi dengan cara kekerasan dalam pengembangan ajaran agama apapun, kecuali yang dilakukan oleh imperalis barat dengan sistem peperangan dan pemaksaan alih agama.
Api sejarah, Ahmad Mansur Suryanegara. Salamadani Pustaka Semesta

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar

Penulis Majalah Al 'Ibar

1. Ust. Agus Andriyanto, Lc

2. Ust Rohmanto, Lc

3. Ust. Amri Suaji, Lc

4. Ust. Abdus Salam, Lc

5. Ust. Aris Munandar, S.S.

6. Ust. Ulin Nuha, S.Pd.I

7. Ust. Jarot Nugroho, S.Pd.I

8. Ust. Budi Setiawan, S.K.M.

9. Ustadzah Umi Hajar, Lc

Alamat Kantor Redaksi,Periklanan dan Pemasaran

Pondok Pesantren Hamalatul Quran

Kembaran RT 4, Tamantirto, Kasihan, Bantul, Yogyakarta 

Telp/Fax: 0274 372 602 

email: pesantrenhamalatulquran@gmail.com

Diberdayakan oleh Blogger.

Tags

BTricks

BThemes